GENESA BATUBARA

Posted: Oktober 19, 2012 in Uncategorized

Berdasarkan pendekatan praktis, maka pembentukan batubara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

  1. Letak geografi (paleogeografi), dan iklim
  2. Perkembangan dan pertumbuhan vegetasi
  3. Perkembangan tempat akumulasi vegetasi
  4. Distribusi lateral dan vertikal akumulasi vegetasi
  5. Pengaruh struktur deformasi tektonik
  6. Pengaruh kegiatan pembentukan batuan beku
  7. Lingkungan pengendapan limik, paralik:
    1. Alluvial plain
    2. Upper deltaic plain
    3. Lower deltaic plain
    4. Barrier bar
    5. Offshore
  8. Topografi lingkungan pengendapan
  9. Proses transformasi vegetasi menjadi batubara
  10. Media transformasi vegetasi menjadi batubara
  11. Waktu transformasi vegetasi menjadi batubara
  12. Umur batubara setelah proses transformasi batubara

Perubahan komposisi kimia dan sifat fisik pembatubaraan

Sebagaimana diketahui bahwa batubara adalah berasal dari flora, dengan melalui proses diagenesis kondisi tertentu, transformasi awal menjadi gambut, kemudian berurutan menjadi lignit, sub-bitumen, bitumen, antrasit. Dalam prosesnya, terjadi perubahan komposisi kimia dan perubahan sifat fisik.

Perubahan sifat fisik vegetasi akibat proses diagenesis berubah menjadi batubara, yaitu karena faktor kondisi tekanan dan temperatur, waktu dan posisi kedalaman di kulit bumi. Sifat fisik ini dipengaruhi pula oleh proses kimia yang berlangsung dalam proses diagenesis.

Perubahan fisik yang ada, antara lainnya yaitu:

  • Perubahan volume, akibat pemadatan, pengeringan dan pengerasan
  • Porositas menjadi lebih kecil
  • Berat jenis bertambah
  • Warna menjadi coklat hingga hitam
  • Kekerasan permukaan bertambah
  • Daya serap cahaya berkurang, daya pantul cahaya bertambah
  • Daya tembus cahaya berkurang
  • Daya simpan energi panas bertambah, karena konsentrasi unsur karbon (C) makin tinggi.
  • Kelembaban berkurang, karena unsur hidrogrn (H) dan oksigen (O) berkurang.

Berdasarkan tingakt proses diagenesis, maka terbentuk pula tingkatan”rank” batubara, yang masing-masing dapat dibedakan ciri sifat-sifat fisiknya, yaitu sebagai berikut:

Batubara lignit,

Mempunyai “banded”, berkekar, berwarna coklat hingga kehitaman, berat jenis relatif rendah, daya serap cahaya relatif tinggi, sifat daya pantul cahaya relatif rendah mudah hancur bila dikeringkan, serta mempunyai daya simpan energi panas relatif rendah “low heating value”

Batubara sub-bitumen

Mempunyai “banded”, berwarna hitam, mempunyai kilap kusam – kilap lilin, bersifat membelah (splits) sejajar terhadap perlapisan, masih menunjukkan adanya struktur organik atau serat dan partikel organik lainnya, berat jenis relatif tinggi, sifat reflaktan terhadap cahaya relatif tinggi, daya simpan energi panas masih relatif rendah namun bersifat bersih “good clean fuel”

Batubara bitumen

Mempunyai “banded”, berwarna hitam, kilap terang “bright” seperti kaca, “well jointed”, namun padat “dense”, tidak mudah hancur, berat jenis relatif tinggi, serta daya serap energi panas tinggi.

Sumber 1 : (Rinawan Rusman, 1992, Pengantar Kuliah Geologi Batubara, Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia, Bandung)

 

Teori Genesa Batubara

Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.

Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

  • Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batubara dari perioda ini.
  • Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batubara dari perioda ini.
  •  Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
  • Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
  •  Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.

Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai menjadi antrasit – disebut sebagai pengarangan – memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batu bara. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

  • Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% – 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
  • Bituminus mengandung 68 – 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
  •  Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
  • Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
  • Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.

Sumber 2 : (http://achmadinblog.wordpress.com/2010/05/31/genesa-batubara/)

 

Proses pembentukan batu bara sendiri sangatlah kompleks dan membutuhkan waktu hingga berjuta-juta tahun lamanya. Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang kemudian mengendap selama berjuta-juta tahun dan mengalami proses pembatubaraan (coalification) dibawah pengaruh fisika, kimia, maupun geologi. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Secara ringkas ada 2 tahap proses pembatubaraan  yang terjadi, yakni:

  1. Tahap Diagenetik atau Biokimia (Penggambutan), dimulai pada saat dimana tumbuhan yang telah mati mengalami pembusukan (terdeposisi) dan menjadi humus. Humus ini kemudian diubah menjadi gambut oleh bakteri anaerobic dan fungi hingga lignit (gambut) terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
  2. Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.

 

Secara lebih rinci, proses pembentukan batu bara dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pembusukan, bagian-bagian tumbuhan yang lunak akan diuraikan oleh bakteri anaerob.
  2. Pengendapan, tumbuhan  yang telah mengalami proses pembusukan selanjutnya akan mengalami pengendapan, biasanya di lingkungan yang berair. Akumulasi dari endapan ini dengan endapan-endapan sebelumnya akhirnya akan membentuk lapisan gambut.
  3. Dekomposisi, lapisan gambut akan mengalami perubahan melalui proses biokimia dan mengakibatkan keluarnya air dan sebagian hilangnya sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metana. Secara relatif, unsur karbon akan bertambah dengan adanya pelepasan unsur atau senyawa tersebut.
  4. Geotektonik, lapisan gambut akan mengalami kompaksi akibat adanya gaya tektonik dan kemudian akan mengalami perlipatan dan patahan. Batubara low grade dapat berubah menjadi batubara high grade apabila gaya tektonik yang terjadi adalah gaya tektonik aktif, karena gaya tektonik aktif dapat menyebabkan terjadinya intrusi atau keluarnya magma. Selain itu, lingkungan pembentukan batubara yang berair juga dapat berubah menjadi area darat dengan adanya gaya tektonik setting tertentu.
  5. Erosi, merupakan proses pengikisan pada permukaan batubara yang telah mengalami proses geotektonik. Permukaan yang telah terkelupas akibat erosi inilah yang hingga saat ini dieksploitasi manusia.

Faktor-Faktor Dalam Pembentukan Batubara

Faktor-Faktor dalam pembentukan batubara sangat berpengaruh terhadap bentuk maupun kualitas dari lapisan batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan batubara adalah :

  1. Material dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh beberapa juta tahun yang lalu, yang kemudian terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim clan topografi tertentu. Jenis dari flora sendiri amat sangat berpengaruh terhadap tipe dari batubara yang terbentuk.
  2. Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material dasar pembentuk batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang terendapkan akan mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia.
  3. Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan berapa lama material dasar yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk material yang diendapkan dalam skala waktu geologi yang panjang, maka proses dekomposisi yang terjadi adalah fase lanjut clan menghasilkan batubara dengan kandungan karbon yang tinggi.
  4. Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses pembentukan suatu lapisan batubara dari :
    1. Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan lapisan batubara yang terbentuk.
    2. Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil, lipatan, atau patahan.
    3. Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari lapisan batubara yang dihasilkan.
    4. Lingkungan pengendapan, yakni lingkungan pada saat proses sedimentasi dari material dasar menjadi material sedimen. Lingkungan pengendapan ini sendiri dapat ditinjau dari beberapa aspek sebagai berikut:
      1. Struktur cekungan batubara, yakni posisi di mana material dasar diendapkan. Strukturnya cekungan batubara ini sangat berpengaruh pada kondisi dan posisi geotektonik.
      2. Topografi dan morfologi, yakni bentuk dan kenampakan dari tempat cekungan pengendapan material dasar. Topografi dan morfologi cekungan pada saat pengendapan sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara terbentuk. Topografi dan morfologi dapat dipengaruhi oleh proses geotektonik.
      3. Iklim, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan batubara karena dapat mengontrol pertumbuhan flora atau tumbuhan sebelum proses pengendapan. Iklim biasanya dipengaruhi oleh kondisi topografi setempa

 

Sumber 3 : (http://logku.blogspot.com/2011/02/proses-pembentukan-batubara.html)

 

Proses pembentukan batubara dari tumbuhan melalui dua tahap, yaitu :

  1. Tahap pembentukan gambut (peat) dari tumbuhan yang disebut proses peatification

Gambut adalah batuan sediment organic yang dapat terbakar yang berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup udara ( dibawah air ), tidak padat, kandungan air lebih dari 75 %, dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering.

  1. Tahap pembentukan batubara dari gambut yang disebut proses coalification

Lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh suatu lapisan sediment, maka lapisan gambut tersebut mengalami tekanan dari lapisan sediment di atasnya. Tekanan yang meningkatakan mengakibatkan peningkatan temperature. Disamping itu temperature juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman, disebut gradient geotermik. Kenaikan temperature dan tekanan dapat juga disebabkan oleh aktivitas magma, proses pembentukan gunung api serta aktivitas tektonik lainnya.

Peningkatan tekanan dan temperature pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas gas ( CO2, H2O, CO, CH4 ), penigkatan kepadatan dan kekerasanb serta penigkatan nilai kalor.

Sumber 4 : (http://methdimy.blogspot.com/2008/06/genesa-batubara.html)

 

KETERDAPATAN BATUBARA DI SULAWESI SELATAN

Batubara merupakan bahan galian yang tersusun dari maseral organik dan sedikit unsur anorganik. Batubara dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang hidup pada lingkungan air tawar, umumnya tumbuh pada daerah tropis. Proses tumbuhan menjadi batubara melalui tingkatan : proses biokimia yaitu material tumbuhan menjadi gambut oleh bakteri anaerobik. Proses lanjutan adalah termodinamika, dimana bekerja pengaruh temperatur dan tekanan. Proses akumulasi batubara dapat tertimbun ditempat tumbuhnya (Autochtonous), dan dapat pula tertimbun setelah mengalami transportasi dan sedimentasi (Allochtonous), Bateman, 1960. Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatannya (rank), terdiri atas : gambut, lignit, subbitumus, bituminus, dan antrasit.

Bahan galian Batubara sebagai salah satu bahan bakar pengganti minyak bumi, dimasa akan datang peranannya diharapkan makin besar di Indonesia, sebagai bahan bakar alternatif. Pemanfaatan bahan bakar batubara saat ini telah dimanfaatkan pada industri semen, pembangkit listrik, industri metalurgi, tekstil, dan pembuatan briket peruntukan energi rumah tangga.

Tak terkecuali pada provinsi Sulawesi Selatan, batubara tersingkap dan beberapa diantaranya telah dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kadar batubara pada masing-masing daerah ditemukannya batubara tersebut. Berdasarkan Geologi Regional Sulawesi, (Rab. Sukamto 1982); batubara di Sulawesi Selatan dapat ditemukan pada beberapa Formasi, antara lain pada Formasi Mallawa, Formasi Walanae, Formasi Camba dan Formasi Toraja, dengan karakteristik yang berbeda-beda pada tiap formasinya. Umumnya batubara di Sulawesi Selatan termasuk batubara muda karena terbentuk pada zaman Tersier, berumur Eosen dan Neogen.

Selanjutnya berdasarkan beberapa penelitian dan penyelidikan yang telah dilakukan sebelumnya, penulis mencoba memaparkan beberapa tipikal batubara pada Formasi tersebut diatas.

  1. Formasi Mallawa (Tem) ; Formasi Mallawa terdiri atas batupasir kuarsa, batulanau, batulempung dan konglomerat, dengan sisipan dan lensa Batubara. Penyebaran batuan yang cukup luas adalah, batupasir kuarsa yang merupakan Anggota dari Formasi Mallawa. Batupasir kuarsa umumnya bersifat rapuh dan kurang kompak, berlapis tipis-laminasi. Pada batulempung dan batulanau mengandung fosil moluska, sisipan batugamping dan batubara dengan ketebalan antara beberapa centimeter sampai 1,5 meter.  Batuan dari formasi Mallawa ini diperkirakan berumur Paleosen-Eosen (Rab. Sukamto, 1982), terendapkan dalam lingkungan paralik sampai laut dangkal, dan ketebalan formasi ini tidak kurang dari 400 meter. Beberapa conto batubara Formasi Mallawa yang telah diteliti antara lain pada daerah Mallawa, Taccepa, Bontoa, dan Uludaya pada Kabupaten Maros. Endapan batubara di daerah tersebut diatas berupa lapisan dengan ketebalan bervariasi dari 1 – 6 lapisan. Ketebalan Batubara pada Formasi Mallawa berukuran antara 0,15 – 1,60 meter. Berselingan dengan lempung, batupasir, dan lanau. Ciri fisik berwarna hitam sampai hitam kecoklatan, kilap terang sampai pudar, getas, rekahan terisi lempung dan adapula pirit, umumnya memiliki pecahan konkoidal. Formasi batuan tersebut diendapkan pada lingkungan paralik hingga laut dangkal, sehingga lapisan batubaranya sebagian besar kandungan unsur belerang cukup tinggi yakni berkisar 0,96-9,85 %. Sedangkan nilai kalori berkisar antara 4.236 – 7.470 k.cal/kg dan fuel ratio 0,9 – 1,3. Batubara Formasi Mallawa tersingkap pula di Desa Gattareng, Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng. Singkapan batubara terdiri dari 5 (lima) lapisan dengan ketebalan 0,3 – 5 meter. Dari hasil uji kualitas batubara Kabupaten Soppeng diperoleh nilai kalori 5880 – 6600 Cal/g, Zat Terbang 35 – 40 %, dan kadar belerang 1,4 – 1,8 %.
  2. Formasi Walanae (Tmpw) ; berumur Miosen Akhir – Pliosen, formasi ini menindih tidak selaras dengan batuan gunungapi formasi Camba. Formasi Walanae tersusun dari perselingan batupasir, konglomerat, tufa dengan sisipan batulanau, batulempung, batugamping, napal dan lignit, batupasir berbutir sedang sampai kasar, umumnya gampingan dan agak kompak, berkomposisi sebagian andesit dan sebagian lainnya banyak mengandung kuarsa. Tebal satuan ini diperkirakan sekitar 1.200 meter (Rab. Sukamto dan Sam Supriatna, 1982). Batubara pada formasi Walanae yang pernah diteliti antara lain pada Kabupaten Sinjai, pada daerah Panaikang dan Bulupodo. Ketebalan batubara formasi Walanae pada daerah Panaikang bervariasi dengan rata-rata 2 meter. Kondisi fisik berlapis-lapis, berselang-seling dengan lempung. Sedangkan pada daerah Bulupoddo batubaranya memiliki warna abu-abu hingga hitam, dan masih menampakkan tekstur asalnya yaitu kayu. Mempunyai cerat hitam, dengan ketebalan bervariasi antara 20 cm hingga 1,8 meter, tertutup lapisan soil setebal 1-2 meter. Batubara ini merupakan sisipan pada batupasir yang berselingan dengan batulempung hingga lanau. Melalui kehadiran struktur sedimen berupa laminasi, dan gelembur gelombang, menunjukkan genetik lingkungan pengendapan satuan batuan ini adalah laut dangkal (daerah transisi) dengan mekanisme pengendapan ‘sand bar’. Melalui hasil analisa kimia nilai Kalori batubara Walanae pada daerah Panaikang, Sinjai memiliki nilai Kalori 5.000 Cal/gr, fuel ratio (0,8-0,9) dengan kadar sulfur 2,1 – 3,5 %.
  3. Formasi Camba (Tmc) ; Batuan sedimen laut Formasi Camba terdiri atas perselingan antara batuan gunungapi, yaitu batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau, dan batulempung. Dibeberapa tempat dijumpai sisipan napal, batugamping, dan batubara. Satuan batuan ini diperkirakan berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Rab. Sukamto,1982) dan terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, menindih tidak selaras diatas Formasi Tonasa. Contoh batubara Formasi Camba yang telah diteliti berlokasi di Kabupaten Maros pada daerah Bengo, Kamara, Pucak, Lekopancing, S. Damak K, umumnya jenis batubara ini berwarna hitam buram, dan dijumpai adanya pengotoran dari oksida besi. Serta yang berlokasi di daerah Lembang, berwarna hitam mengkilat, dan keras, diperkirakan perubahan tersebut sebagai akibat pengaruh intrusi andesit dan basal di daerah tersebut. Hasil analisa kimia batubara Formasi Camba menunjukkan nilai kalori antara 3175 – 4270 cal/g, karbon padat 28,20 – 39,90 %, dan kadar abu 36,10 – 52,20 %.
  4. Formasi Toraja (Tet) ; Formasi batuan ini terdiri dari perselingan batupasir kuarsa, serpih, batulanau, konglomerat kuarsa dengan sisipan kuarsit, batugamping, batulempung, napal, batupasir hijau, batupasir gampingan, batupasir dan batubara. Batuan umumnya berlapis sangat tipis hingga sangat tebal, berwarna merah kecoklatan sampai ungu, dan beberapa warna kelabu kehitaman. Satuan batuan ini diperkirakan berumur Eosen Tengah – Eosen Akhir (Djuri, Sudjatmiko,1998). Beberapa contoh batubara pada Formasi Toraja, yang telah dilakukan penyelidikan sebelumnya antara lain pada daerah Sillanan, Tombang, dan Randanan pada Kabupaten Toraja. Endapan batubara Formasi Toraja, berupa lensa/lapisan tipis terdapat pada beberapa lapisan dengan ketebalan rata-rata 8,0 – 60 cm. umumnya berselang-seling dengan serpih, lempung, dan serpih napalan, ditempat lain berselingan dengan napal, batupasir, dan lanau. Kenampakan fisik umumnya lapuk, berwarna hitam, kilap pudar hingga terang, pecahan konkoidal, dan ada yang mengandung pirit. Formasi batuan tersebut umumnya terendapkan pada lingkungan antar pegunungan dalam lingkungan paralik hingga laut dangkal, sehingga lapisan batubaranya sebagian besar unsur belerangnya cukup tinggi. Batubara Formasi Toraja juga tersingkap di Kabupaten Enrekang, yakni di daerah Banti dan Batunoni. Endapan batubara berwarna hitam, kilap terang, rekahan terisi oleh gipsum dan pirit, ketebalan rata-rata 0,75 m. Nilai kalori batubara Formasi Toraja bervariasi yakni antara 3.750 Cal/g sampai 6.578 Cal/g, fuel ratio 0,8 – 2.0, dan prosentase zat belerang adalah antara 2,1 – 3,6 %. Batubara Formasi Toraja juga tersingkap di daerah Betau Kecamatan Duapitue Kabupaten Sidenreng Rappang. Kenampakan fisik batubara di beberapa tempat dijumpai tersingkap di permukaan dan sebagian besar tertutup oleh tanah penutup dan batuan pembawa yakni pasir kuarsa dan lempung. Berdasarkan penampang yang diperoleh dari hasil penggalian dijumpai sebanyak 3 lapisan, dimana lapisan pertama dan kedua merupakan lapisan tipis dengan ketebalan 2 – 5 cm, dan lapisan ketiga dengan ketebalan antara 30 – 45 cm yang merupakan batubara yang bersifat brittle, kilap terang, mengandung sedikit belerang dan gypsum. Hasil analisa kimia conto batubara di Sidenreng Rappang menunjukkan nilai kalori 5099, 47 Cal/g, kadar belerang 1,151 %, zat terbang 27,97 %.

Menurut data dari “Statistik Mineral, Batubara, Panasbumi, dan Air Tanah” tahun 2009, yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, batubara di Sulawesi Selatan mempunyai sumberdaya batubara sebanyak 231,12 juta ton. Terdiri atas sumberdaya terindikasi sebesar 144,94 juta ton, sumberdaya tereka sebesar 33,09 juta ton, sumberdaya terukur sebesar 53,09 juta ton. Dengan cadangan terduga (probable) dan terbukti (proven) sebesar 0,06 juta ton.

Melalui hasil-hasil penelitian dan data-data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa batubara di Sulawesi Selatan memiliki kandungan nilai kalori yang bervariasi mulai dari 3.175 sampai 7.470 cal/g.

Batubara di Sulawesi Selatan umumnya terbentuk pada lingkungan paralik hingga laut dangkal (transisi).

Berdasarkan nilai kalori dan fuel ratio batubara di Sulawesi Selatan dapat digolongkan jenis Lignit – Medium Volatile Bitumen (ASTM,1938). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas batubara di Sulawesi Selatan memang tergolong batubara muda namun cukup menjanjikan dan berprospek cerah, mengingat kebutuhan batubara domestik yang semakin lama semakin tinggi, apalagi jika dilakukan peningkatkan kualitas dengan melakukan beberapa cara antara lain :

  1. Upgrading Brown Coal (UBC), untuk peningkatan kalori dan mengurangi kadar air / moisture untuk pembuatan briket peruntukan industri.
  2. Karbonisasi / Desulfurisasi untuk menambah kadar karbon dan mengurangi kadar sulfur.
  3. Konversi : Gasifikasi dan Pencairan (convertion Liquid Coal – high rate combustion).
  4. Pemilahan dan pencucian untuk mengurangi kadar abu yang agak tinggi.

Dengan melakukan pemanfaatan teknologi dan peningkatan kualitas batubara, maka batubara di Sulawesi Selatan dapat dimanfaatkan untuk industri manufaktur seperti pada pabrik pembuatan semen. Ataupun dimanfaatkan pada pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara muda sehingga lebih ekonomis dalam pembiayaan. Salah satunya dengan menggunakan sistem proses pengeringan dan gasifikasi batubara (IDGCC-Integrated Drying Gasification Combine Cycle) seperti yang telah dilakukan di PLTU Berau sejak tahun 2003 yang menggunakan jenis batubara muda (lignit) sebagai pengganti BBM. Tentunya dengan memperhatikan pula aspek dan dampaknya pada lingkungan sekitar industri. Dibutuhkan peran pihak-pihak terkait mulai dari pusat hingga ke daerah agar pemanfaatan batubara daerah ini dapat dikembangkan, sehingga dapat memacu peningkatan sektor ekonomi daerah pada provinsi Sulawesi Selatan.

Sumber : (http://esdmsulsel.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:potensi-batubara-di-sulawesi-selatan&catid=36:sumberdaya-mineral-a-batubara&Itemid=73)

DAFTAR PUSTAKA

 

Rinawan Rusman, 1992, Pengantar Kuliah Geologi Batubara, Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia, Bandung

http://achmadinblog.wordpress.com/2010/05/31/genesa-batubara/

http://logku.blogspot.com/2011/02/proses-pembentukan-batubara.html

http://methdimy.blogspot.com/2008/06/genesa-batubara.html

http://esdmsulsel.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:potensi-batubara-di-sulawesi-selatan&catid=36:sumberdaya-mineral-a-batubara&Itemid=73

Tinggalkan komentar